WahanaNews-Dairi | Puluhan warga Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, melakukan aksi "mangandung" di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Mangandung adalah ritual meratap dengan menangis, sebuah tradisi lisan masyarakat Batak Toba yang biasa digelar dalam upacara perkabungan.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Aksi mangandung itu digelar warga Dairi mendesak PTUN Jakarta mencabut persetujuan lingkungan untuk aktivitas tambang seng dan timah hitam milik PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang saat ini menjadi objek sengketa gugatan warga Dairi dengan tergugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Demikian keterangan pers diterima WahanaNews.co dari Koordinator Advokasi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) Rohani Manalu, Kamis (22/6/2023).
Disebut, dalam aksi mangandung itu, warga Dairi ingin menyampaikan pertanian yang subur di Dairi adalah berkah dari pencipta, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga pemenuhan pendidikan keluarga.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Tapi saat ini, semua itu terancam karena kehadiran PT DPM yang difasilitasi oleh pemerintah.
Sebelumnya, 11 orang warga Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, menggugat Kepmen LHK No. SK: 854/MENLHK/SETJEN/PLA.4/8/2022 tentang Persetujuan Lingkungan untuk aktivitas tambang PT DPM.
Gugatan ini didaftarkan ke PTUN Jakarta pada 14 Februari 2023 dan teregister dengan nomor perkara 59/G/LH/2023/PTUN.JKT.
Perlengkapan aksi teatrikal "mangandung" warga Dairi di PTUN Jakarta, Rabu (21/6/2023) [Foto: WahanaNews/ist]
Aksi yang dilakukan warga Dairi dimaksud, bertepatan dengan agenda sidang pembuktian ahli dari penggugat (warga Dairi) dan saksi dari tergugat (KLHK).
Gugatan warga terhadap Menteri Siti Nurbaya ini bukan tanpa sebab. Sejak awal PT DPM melakukan sosialisasi dan eksplorasi pada 2008, warga menolak keras kehadiran tambang PT DPM karena kekhawatiran akan terjadinya bencana jika perusahaan tersebut beroperasi.
Pasalnya, Kabupaten Dairi berada di zona merah yang berstatus “Rawan Bencana”. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Dairi juga pernah menyatakan, Kabupaten Dairi telah berstatus “Swalayan Bencana” sebab segala jenis bencana sudah pernah terjadi dan mempunyai ancaman yang nyata.
Hingga akhirnya pada 11 Agustus 2022, KLHK menerbitkan Persetujuan Lingkungan untuk aktivitas tambang PT DPM. Padahal dalam audiensi yang dilakukan warga Dairi di KLHK pada 24 Agustus 2022, yakni 13 hari setelah SK Persetujuan Lingkungan tersebut diterbitkan, pihak KLHK mengatakan bahwa mereka masih belum memberikan persetujuan lingkungan untuk PT DPM.
"Nah, yang paling fatal di 24 Agustus 2022 warga ke KLHK dan disambut oleh humas dari KLHK, beserta Dirjen Gakkum dan Dirjen PDLUK. Di situ kami merasa ditipu," ungkap Dormaida Sihotang, salah satu warga Dairi yang melakukan aksi mangandung.
Dormaida menyebut, warga sudah berungkali menyurati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan KLHK untuk tidak mengijinkan tambang beroperasi di kampung mereka.
“Bahkan kami juga berulang kali ke Jakarta untuk melakukan audiensi. Karena pertanian yang sudah kami kerjakan selama turun temurun dan akan terus diwariskan dari generasi ke generasi, telah cukup menghidupi dan menyejahterakan kami,” pungkasnya.
Muh. Jamil, salah satu kuasa hukum warga dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkapkan bahwa persetujuan lingkungan PT. DPM yang diterbitkan oleh Menteri LHK wajib dibatalkan.
“Sebab, tambang bawah tanah seluas 24.000 hektar serta bendungan limbah raksasanya adalah upaya sistematis mengundang bencana industri untuk membumi hanguskan orang Dairi-Aceh Singkil serta seluruh kehidupan pada wilayah tersebut,” katanya.
Sebelumnya, pada 9 Juni 2023, koalisi masyarakat sipil yang bersolidaritas pada perjuangan warga Dairi ini mengirimkan surat desakan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memantau proses persidangan yang sedang berjalan ini.
Hal itu mengingat yang sedang digugat oleh warga Dairi adalah lembaga negara dan korporasi besar. Sehingga harus dipastikan independensi majelis hakim agar tidak diintervensi oleh KLHK dan PT DPM.
Ketidakterbukaan KLHK yang manipulatif dalam penerbitan persetujuan lingkungan hidup kepada PT DPM itu menunjukkan adanya pelanggaran substansi dan prosedural yang dilakukan oleh pemerintah.
Saat ini, pemerintah sedang berjudi atas keselamatan warga dan lingkungan yang menjadi taruhannya. Tindakan pemerintah yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan petani dan warga Dairi merupakan kejahatan negara yang harus ditolak.
Harusnya negara lebih bertanggungjawab dan lebih mendukung kehidupan masyarakat Dairi dengan mengembangkan pertaniannya dan melindungi hak-hak masyarakat sebagai petani yang menjadi penopang ketersediaan pangan, bukan dengan industri tambang. [gbe]