Kejanggalan yang paling mendasar, putusan terhadap Alex Denni, baik di tingkat banding maupun kasasi bertolak belakang dengan putusan terhadap Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.
Berdasarkan eksaminasi yang dilakukan PBHI bersama tiga ahli hukum pidana, ditemukan kejanggalan baik di level administrasi pengadilan, hukum acara, dan pemeriksaan perkara yang berujung pada terjadinya disparitas putusan.
Baca Juga:
Jaksa Agung: Pengoplosan Pertamax di Masa Pandemi Bisa Berujung Hukuman Mati
Di tingkat banding, dua pejabat PT Telkom tersebut dinyatakan bebas, tidak bersalah karena terbukti tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada kerugian negara.
Namun, dengan alat bukti yang sama, Alex Denni yang merupakan pihak swasta saat itu dan tidak punya kewenangan dalam membuat keputusan tetap dinyatakan bersalah.
Julius menegaskan vonis bersalah terhadap Alex Denni jelas bertentangan dan melanggar penerapan hukum terhadap Pasal 55 KUHP yang mensyaratkan pihak penyelenggara negara harus divonis bersalah terlebih dahulu baru kemudian pihak swasta dapat dinyatakan bersalah.
Baca Juga:
Trump Pangkas Dana USAID hingga US$60 Miliar, Begini Dampaknya bagi Dunia
Sedangkan, anggota Komisi III DPR RI Bimantoro Wiyono mengatakan Komisi III DPR RI merupakan rumah bagi pencari keadilan.
Menurutnya, sistem peradilan di Indonesia memang harus diperbaiki secara masif. Untuk itu, Komisi III DPR RI saat ini sedang merancang KUHP yang baru.
"Untuk perkara ini memang kami tidak bisa masuk kepada substansi, tetapi kami akan terus mengawal. Saya sangat mendorong penguatan sistem peradilan, terutama pemberkasan perkara di MA yang sudah dari dulu menjadi problematika," kata Bimantoro.