DAIRI.WAHANANEWS.CO, Sidikalang - Ada hal yang aneh setiap kali truk ODOL (Over Dimensi Over Load) terlibat kecelakaan. Selalu sopir yang jadi sasaran. Padahal, dia hanya mengantar. Tidak ikut menentukan rute. Tidak ikut mengatur muatan. Tidak punya kuasa untuk bilang tidak.
Apa mungkin seorang sopir berani menolak permintaan perusahaan pengangkut untuk membawa lebih dari batas yang ditentukan, sementara ia tahu, jika tidak menurut, maka besok gajinya digantung, atau tidak diberi trip lagi? Apa mungkin ia bisa bilang tidak, sementara di belakangnya ada keluarga yang harus diberi makan?
Baca Juga:
Ngaku Butuh Uang, Aktor Sinetron Ini Nekat Peras Pacar Pria: ‘Saya Menyesal’
Yang punya kuasa adalah perusahaan. Owner. Mereka yang memesan barang, menekan harga, dan menargetkan waktu. Tapi ketika truk terguling, atau rem blong menabrak motor di tanjakan, mereka hilang dari pembicaraan.
Saya sepakat dengan yang dikatakan Menko Infrastruktur, Mas AHY, dalam rapat koordinasi beberapa waktu lalu. Negara harus berani menertibkan bukan hanya truk, tapi juga logika penegakan hukum kita yang terlalu lama permisif terhadap ketimpangan ini.
Owner harus ikut dimintai pertanggungjawaban. Perusahaan angkutan harus dimintai komitmen hukum.
Baca Juga:
Benarkah AS Tak Lagi Adidaya? Ini 3 Penyebab Runtuhnya Amerika Versi Warganya Sendiri
Kita tidak bisa lagi pura-pura tidak tahu bahwa banyak pelanggaran ODOL dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan melibatkan pembiaran dari berbagai pihak.
Saya di Komisi III. Saya tahu persis bahwa pelanggaran hukum itu sering kali disederhanakan hanya untuk kebutuhan razia. Ada pungli di jalan. Ada pembiaran sistematis. Ada aktor yang tidak pernah tersentuh, tapi terus menikmati hasil dari sistem yang rusak.
Pemerintah sekarang mulai berbenah. Ada niat untuk menghapus ODOL secara total di 2027. Itu target yang baik. Tapi penegakan hukumnya harus menyentuh semua lapisan.
Tidak cukup hanya menilang di jalan. Harus menyasar siapa yang menyuruh truk membawa muatan lebih, siapa yang menutup mata di pelabuhan, siapa yang membiarkan perizinan jadi celah bisnis.
Jadi kalau hari ini ada protes, atau resistensi dari pelaku usaha, itu hal biasa. Tapi negara tidak boleh mundur. Kita bisa berdialog, bisa bertahap, tapi tidak boleh kompromi dalam soal nyawa.
Karena kalau negara gagal melindungi yang lemah, maka sebenarnya bukan truk yang kelebihan beban. Negara ini yang kelebihan kelonggaran.
"Selama pelanggaran dianggap biaya operasional, korban berikutnya tinggal menunggu giliran.”
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat
[Redaktur: Robert Panggabean]