Dalam laporan CAO terbaru diterbitkan pada Juni 2022 menyebutkan bahwa tambang yang direncanakan oleh PT. DPM memiliki kombinasi resiko bencana yang ekstrim karena beberapa factor.
Salah satunya adalah terkait pembangunan bendungan limbah yang diusulkan oleh perusahaan tambang tidak sesuai dengan standart internasional.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Dalam pernyataannya, Barisman Hasugian sebagai koordinator aksi mengatakan harapannya agar pemerintah tidak memberikan ijin kelayakan lingkungan kepada PT. DPM.
Pasalnya, mereka takut kehilangan pertanian dan kampung halamannya jika pertambangan beroperasi di Dairi. Padahal selama ini mereka hidup dari tanah dan pertanian mereka. Bahkan, bisa mengantarkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi dari hasil pertaniannya.
TIdak lupa Barisman juga menyerukan kepada warga yang hadir agar tetap berjuang dan menyerukan yel-yel organisasi marsitoguan “Tampakna do tajomna rim nitahi do gogona”
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Sementara Juptri Siregar dari Yayasan PETRASA, yang selama ini fokus mendampingi pertanian organik di Dairi mengatakan bahwa pada kemerdekaan RI yang ke-77 ini, ternyata masih ada warga Negara Indonesia yang belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, dikarenakan mengalami keterancaman oleh kehadiran industri ekstraktif.
Salah satu contoh warga Dairi yang terancam oleh kehadiran PT. DPM, dimana dia meyakini pertambangan tidak akan bisa berdampingan dengan pertanian.
Gerson Tampubolon sebagai pemuda Desa Bongkaras berharap, dengan adanya laporan CAO itu, bisa membuka mata pemerintah terutama kementerian LHK untuk tidak mengeluarkan izin kelayakan lingkungan PT. DPM.