WahanaNews-Dairi | Merayakan HUT RI ke-77, kelompok masyarakat penolak kehadiran tambang PT Dairi Prima Mineral (PT. DPM), melakukan aksi bentang spanduk sebagai bentuk protes dan juga sikap menolak kehadiran perusahaan tambang di desa mereka, Rabu (17/8/2022), di Desa Bongkaras Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Keterangan pers Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) diterima WahanaNews.co, kegiatan itu diikuti kelompok masyarakat dari beberapa desa yang berada di daerah konsesi PT DPM. Diantaranya, organisasi Marsitoguan Desa Bongkaras, masyarakat dari Desa Bonian dan perwakilan warga Desa Sumbari.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Disebut, aksi itu merupakan wujud dari kekecewaan warga akan ketidakpedulian negara terhadap keselamatan warga yang sudah berlaki-kali menyuarakan untuk menolak kehadiran PT. DPM di Dairi.
Demikian juga dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tidak mau membukakan informasi tentang DPM walaupun pada kenyataannya warga telah menang pada sidang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan juga di tingkat banding di PTUN Jakarta.
"Namun dengan tidak tahu malunya ESDM kembali mengajukan kasasi ke PTUN Jakarta. Padahal masyarakat hanya meminta dokumen yang sifatnya terbuka," demikian keterangan dimaksud.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Rikayani Sihombing, salah seorang staff YDPK Parongil yang mendampingi warga disekitar tambang mengatakan, sudah banyak upaya yang dilakukan warga Dairi untuk menolak kehadiran pertambangan.
Salah satunya tahun 2019, perwakilan warga dari Desa Pandiangan, Desa Bongkaras dan Desa Sumbari membuat pengaduan ke lembaga Ombudsman Bank Dunia yaitu Compliance Advisor Ombudsman (CAO).
Hasil dari pengaduan tersebut semakin menguatkan keyakinan warga Dairi terhadap resiko yang akan terjadi jika DPM terus ada di Dairi.
Dalam laporan CAO terbaru diterbitkan pada Juni 2022 menyebutkan bahwa tambang yang direncanakan oleh PT. DPM memiliki kombinasi resiko bencana yang ekstrim karena beberapa factor.
Salah satunya adalah terkait pembangunan bendungan limbah yang diusulkan oleh perusahaan tambang tidak sesuai dengan standart internasional.
Dalam pernyataannya, Barisman Hasugian sebagai koordinator aksi mengatakan harapannya agar pemerintah tidak memberikan ijin kelayakan lingkungan kepada PT. DPM.
Pasalnya, mereka takut kehilangan pertanian dan kampung halamannya jika pertambangan beroperasi di Dairi. Padahal selama ini mereka hidup dari tanah dan pertanian mereka. Bahkan, bisa mengantarkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi dari hasil pertaniannya.
TIdak lupa Barisman juga menyerukan kepada warga yang hadir agar tetap berjuang dan menyerukan yel-yel organisasi marsitoguan “Tampakna do tajomna rim nitahi do gogona”
Sementara Juptri Siregar dari Yayasan PETRASA, yang selama ini fokus mendampingi pertanian organik di Dairi mengatakan bahwa pada kemerdekaan RI yang ke-77 ini, ternyata masih ada warga Negara Indonesia yang belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, dikarenakan mengalami keterancaman oleh kehadiran industri ekstraktif.
Salah satu contoh warga Dairi yang terancam oleh kehadiran PT. DPM, dimana dia meyakini pertambangan tidak akan bisa berdampingan dengan pertanian.
Gerson Tampubolon sebagai pemuda Desa Bongkaras berharap, dengan adanya laporan CAO itu, bisa membuka mata pemerintah terutama kementerian LHK untuk tidak mengeluarkan izin kelayakan lingkungan PT. DPM.
"Karena kami cinta desa kami, cinta pertanian kami. Selama ini kami hidup makmur dari pertanian. Kami bisa bersekolah dari hasil pertanian dan kami tidak mau itu hilang hanya karena kegiatan tambang yang dimiliki oleh pemilik modal asing lalu kami yang menerima dampak kedepan," katanya. [gbe]