WahanaNews-Dairi | Secara de facto, kondisi organisasi advokat di negeri ini sekarang menunjukkan sifat “multi-bar”, lawan dari “single-bar” alias wadah tunggal yang nyaris tiada henti digaungkan pengacara senior, Otto Hasibuan.
Menyikapi kenyataan itu, Ketua Umum DPN Persatuan Pengacara Perlindungan Konsumen Indonesia (Perapki), KRT Tohom Purba, mendesak pemerintah untuk menghentikan konflik tersebut dengan berkaca pada fakta.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
“Faktanya, hari ini organisasi advokat di Indonesia sudah bersifat multi-bar. Bahkan, Peradi sendiri, yang getol menyuarakan sistem single-bar, sudah terbelah ke dalam banyak faksi,” kata Tohom, melansir WahanaNews.co, Jumat (22/4/2022).
Tokoh muda asal Kabupaten Dairi, Sumatera Utara tersebut melanjutkan, konflik berkepanjangan soal organisasi advokat itu takkan pernah bisa berakhir bila pemerintah sendiri masih terus menutup mata terhadap fakta kekinian.
“Jadi, menurut Perapki, sebaiknya pemerintah mengakui perkembangan zaman ini dengan mensahkan sistem multi-bar organisasi advokat melalui pembuatan regulasi baru yang bersifat mengikat. Karena, kehadiran sistem multi-bar sudah menjadi tuntutan zaman yang tak lagi bisa dihindari,” kata Tohom.
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Tohom, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Perlindungan Konsumen DPP Kongres Advokat Indonesia (KAI) itu, mencontohkan sejumlah organisasi profesi yang sudah mulai meninggalkan asas single-bar.
“Contoh paling mudah tentu adalah organisasi insan pers. Dulu, di era Orde Baru, PWI ditetapkan sebagai wadah tunggal para wartawan. Kini, sejak memasuki era Reformasi, PWI tak lagi jadi pemain tunggal dalam mengorganisasikan para jurnalis,” katanya.
Selain menjawab tuntutan zaman yang memang sudah berubah, tambah Tohom, asas multi-bar bisa sekaligus menyelamatkan profesi advokat dari ancaman oligarki, pemusatan tongkat komando, dan penyeragaman arah keadilan sehingga tak lagi dinamis.
“Yang harus tunggal itu adalah regulatornya, seperti misalnya penyusun dan pengawas pelaksanaan kode etik. Sementara operatornya, para pelaksana regulasi tersebut, tak harus dicemplungkan semuanya ke dalam satu wadah wajib yang berpotensi menghilangkan dinamika,” jelas Tohom, yang dikenal pula sebagai Sekretaris Pengurus Pusat Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) Pemuda Pancasila.
Ia khawatir, bila konflik soal sistem bagi organisasi advokat itu terus berlanjut tanpa jelas lagi ujung-pangkalnya, bakal muncul kesan bahwa pemerintah kurang responsif terhadap perkembangan zaman.
“Padahal, dunia hukum, termasuk di dalamnya terminologi pencarian keadilan, adalah ilmu. Jadi, sifatnya sangatlah dinamis, tidak statis,” tandasnya.
Selanjutnya Tohom mengingatkan lagi soal kondisi kekinian di tubuh Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) sendiri, yang faktanya sudah terbelah ke dalam banyak faksi.
“Adalah fakta, Peradi sendiri kini sudah tak bisa lagi mengkonsolidasikan diri menjadi Satu Peradi. Jadi, bagaimana lagi dengan ambisinya untuk menjadi wadah tunggal bagi banyak wadah lain di luar Peradi yang kini sudah terbentuk, bahkan ada yang telah memiliki anggota hingga puluhan ribu advokat,” pungkas Tohom. [gbe/yhr]