WahanaNews-Dairi | Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas), Yayasan Petrasa dan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), menggelar diskusi bersama warga korban tambang di Indonesia.
Mengambil tajuk "Diskusi kritis perlawanan oligarkhi tambang", kegiatan itu bertempat di Desa Bonian, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, Selasa (14/2/2023).
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
Kegiatan itu lakukan dalam rangka menyikapi persetujuan izin lingkungan PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang akan menambang di Dairi, yang ramai dilalui patahan gempa, rawan banjir dan longsor.
Melalui kegiatan itu, terungkap testimoni warga korban tambang. Mereka, warga korban tambang emas Sangihe di Sulawesi.
Kemudian, korban lumpur Lapindo-Sidoarjo di Jawa Timur melawan PT Lapindo milik keluarga Aburizal Bakrie, dan korban tambang batu bara PT Kalimantan Prima Coal (KPC) di Kalimantan.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Demikian keterangan pers diterima WahanaNews.co dari Rohani Manalu, Koordinator Advokasi Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), Rabu (15/2/2023).
Dijelaskan, kisah pilu dan tragis atas kesaksian para korban tambang itu, membuktikan bahwa karakter tambang memaksa, membongkar, rakus air dan lahan serta dampaknya sangat massif merusak ruang hidup warga.
Juga, akan melumpuhkan kehidupan masyarakat secara total, sama di semua daerah aktivitas tambang.
Belum lagi pendekatan manipulatif perusahaan dengan pola yang sama di berbagai daerah, meninabobokan warga, misalnya dengan iming akan dipekerjakan. Namun setelah tiga bulan kemudian, di PHK dengan dalih tidak sesuai skilnya.
Upaya manipulatif itu dimuluskan dan digencarkan dengan pembagian berbagai bantuan seperti beasiswa, jalan akan diperbaiki, fasilitas sekolah dan kesehatan dibuatkan, bantuan kepada para janda, anak-anak, bantuan uang dan tas anak sekolah.
Tanpa disadari warga, justru aktivitas tambang akan menghilangkan mata pencaharian warga, sumber air, menimbulkan pencemaran udara, dan berbagai penyakit muncul.
Bahkan, warga harus meninggalkan kampung halamanya. Kehilangan kehidupan sosial dan budaya lokalnya.
Disisi lain, pihak perusahaan tidak pernah terbuka memberitahukan dngan jujur dan objektif, apa dampak dan bahaya tambang.
Propaganda tambang akan membawa kesejahteraan, peningkatan ekonomi dan kemajuan daerah adalah kampanye kosong dan isapan jempol belaka.
Koordinator Jatamnas Melky Nahar menegaskan, bisa di cek di seluruh Indonesia, dimanapun tambang tidak ada yang mensejahterakan warganya. Yang sejahtera, hanya pemilik perusahaan.
"Belum lagi kita berhadapan dengan oligarkhi tambang yang dimulai sejak orde baru sampai hari ini. Misalnya, 56 persen anggota DPR-RI yang duduk di Senayan, saat ini terafiliasi atau terhubung dengan bisnis, baik kepentingan dengan bisnis tambang, perkebunan dan sektor lainnya. Jadi tidak heran kita teriak tidak didengar oleh pemerintah dan DPR-RI," kata Melky.
Pada kesempatan itu, Melky memaparkan beberapa kisah pilu yang diutarakan para korban tambang dari berbagai daerah, yang diadvokasi Jatamnas.
Diantaranya, melawan PT KPC, sebuah tambang batu bara dengan luas 90 ribuan hektar. Perusahaan itu meninggalkan banyak lubang tambang dengan ukuran setara satu hingga dua kali luas lapangan sepak bola.
Jika dilihat, cukup indah, karena berwarna biru atau hijau. Namun, sangat berbahaya karena beracun. Ada 1.735 lubang tambang akibat tambang batubara. Ada 45 warga yang meninggal di lubang tambang tersebut.
"Bahkan didalam proyek Ibukota Negara (IKN) itu sudah ada yang mati. Tapi KPC yang juga pemiliknya. Di kota Sangata Kutai Timur, dari Samarinda naik motor atau mobil, ada lubang yang sangat besar, lubang tambang milik Aburizal Rizal Bakrie juga," ujar Melky.
Ditambahkan, masalah lain yang timbul dalam mega proyek IKN itu, pemindahan masyarakat adat Dayak Bassa sebanyak 140-an KK, dari kampungnya ke tempat lain.
Mereka dibuatkan rumah dan luasannya lebih kecil dari kampung mereka sebelumnya. Warga yang tidak mau pindah didiskriminasi.
Tahun 2010, KPC membuat kolam pembuangan limbah yang bermasalah, mengakibatkan ikan-ikan mati. Saat diperiksa, airnya telah terkontaminasi racun.
Masyarakat pun diberi jatah hidup (jadup), menggantikan makanan sehat dari alam dengan makanan instan seperti mie, sarden, dan lainnya.
Sementara korban tambang lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, milik Keluarga Aburizal Bakrie menuturkan bahwa adanya lumpur Lapindo itu, akibat kelalaian perusahaan.
Warga bangun tidur sudah menghirup air beracun. Udara sudah tercemar racun lumpur Lapindo.
"Kita sudah hidup dikelilingi racun lumpur Lapindo setiap detik, menit, jam, dan tiap hari, tanpa ada turut campur perlindungan dari pemerintah," sebut warga dimaksud.
Perlawanan korban tambang Sangihe di Sulawesi
Pulau Sangihe, luas 77.638 meter persegi. Negara memberi izin kepada PT Tambang Emas Sangihe untuk menambang emas di pulau itu.
Warga tidak diam, menggagas gerakan aksi dan rencana menolak hadirnya tambang itu karena tidak sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tentang pesisir dan pulau kecil, yang tidak bisa ditambang.
Warga bergiat dalam aksi, termasuk mendaftarkan ke pengadilan. Warga berhasil menahan laju perusahaan milik Kanada itu.
Januari 2023, warga memenangkan gugatan di Mahkamah Agung. Izin lingkungan dimenangkan perusahaan. Namun di tingkat pertama, warga yang menang.
Adapun aksi itu, didukung berbagai pihak, terutama Jatam, kuasa hukum, perantau lokal, nasional, bahkan internasional.
Dalam acara diskusi itu, Diakones Santun Sinaga dari YDPK dalam refleksi yang dibawakannya menyampaikan bahwa warga harus tetap setia, meskipun dalam perjalanan banyak godaan maupun rintangan.
Dengan demikian, perjuangan dapat sampai pada tujuan, yaitu keadilan atas ruang hidup warga yang harus dipertahankan sampai anak cucu sebagai titipan Tuhan.
Sementara Petrasa melalui Boy Hutagalung menambahkan bahwa mereka bersedia dan dapat membantu petani untuk mengembangkan pertanian ke arah yang lebih baik.
"Saling membantu, dan tanah yang dimiliki saat ini jangan sampai dijual kepada perusahaan tambang karena dari tanahlah kita hidup. Dairi jangan menjadi tumbal berikutnya," kata Boy. [gbe]